Hormon (zat tumbuh)
adalah suatu senyawa organik yang dibuat pada suatu bagian tanaman dan kemudian
diangkut ke bagian lain dan dalam konsentrasinya rendah dapat mempengaruhi aktivitas fisiologis. Saat
ini dikenal hormon tumbuh seperti auksin, giberelin, sitokinin, asam absisi,
etilen dan asam absisat
Hormon
memilki pengertian yang sedikit berbeda dengan zat pengatur tumbuh (ZPT).
Perbedaannya terletak pada proses sintesisnya. Bila hormon disintesis secara
alami oleh tumbuhan, maka ZPT disintesis secara buatan oleh manusia.
Hormon-hormon pada tumbuhan antara lain sebagai berikut :
AUXIN
Auxin adalah salah satu hormon tumbuh yang tidak terlepas dari proses
pertumbuhan dan perkembangan (growth and development) suatu tanaman. Hasil
penemuan Kogl dan Konstermans (1934) dan Thymann (1935) mengemukakan bahwa
Indole Acetic Acid (IAA) adalah suatu auxin.
Di dalam alam, stimulasi auxin pada pertumbuhan coleoptile ataupun pucuk suatu
tanaman, merupakan suatu hal yang dapat dibuktikan. Praktek yang mudah dalam
pembuktian kebenaran diatas dapat dilakukan dengan Bioassay method yaitu dengan
the straight growth test dan curvature test. Menurut Larsen (1944),
Indole acetaldehyde diidentifikasikan sebagai bahan auxin yang aktif dalam
tanaman, selanjutnya ia mengemukakan bahwa zat kimia tersebut aktif dalam
menstimulasi pertumbuhan kemudian berubah menjadi IAA. Perubahan tersebut
menurut Gordon (1956) adalah perubahan dari Trypthopan menjadi IAA. Tryptamine
sebagai salah satu zat organik, merupakan salah satu zat yang terbentuk dalam
biosintesis IAA. Cmelin dan Virtanen (1961) menerangkan
bahwa Indoleacetonitrile yang terdapat pada tanaman, terbentuk dari
Glucobrassicin atas aktivitas enzym Myrosinase. Dan zat organik lain (Indole ethanol)
yang terbentuk dari Trypthopan dalam biosin.
Metabolisme Auxin
Hasil penelitian terhadap metabolisme auxin menunjukan bahwa konsentrasi auxin
di dalam tanaman mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Adapun faktor-faktor yang
mempengaruhi konsentrasi IAA ini adalah :
a.
Sintesis Auxin
b.
Pemecahan Auxin
c. Inaktifnya
IAA sebagai akibat proses pemecahan molekul.
Sebagaimana diketahui, IAA adalah endogeneous
auxin yang terbentuk dari Trypthopan yang merupakan suatu senyawa dengan inti
Indole dan selalu terdapat dalam jaringan tanaman di dalam proses biosintesis.
Trypthopan berubah menjadi IAA dengan membentuk Indole pyruvic acid dan
Indole-3-acetaldehyde. Tetapi IAA ini dapat pula terbentuk dari Tryptamine yang
selanjutnya menjadi Indole-3-acetaldehyde, selanjutnya menjadi Indole-3-acetid
acid (IAA). Sedangkan mengenai perubahan Indole-3-acetonitrile menjadi IAA
dengan bantuan enzym nitrilase prosesnya masih belum diketahui. Pemecahan IAA
dapat pula terjadi di dalam alam. Hal ini sebagai akibat adanya photo oksidasi
dan enzyme. Dalam peristiwa photo oksidasi ini, pigmen pada tanaman akan
menyerap cahaya kemudian energi ini dapat mengoksidasi IAA. Adapun pigmen yang
berperan dalam photo oksidasi ialah Ribovlavin dan B-Carotene. Ada hubungan yang
berbanding terbalik antara aktivitas oksidasi IAA dengan kandungan IAA dalam
tanaman. Dalam hal ini apabila kandungan IAA tinggi, maka aktivitas IAA oksidasi
menjadi rendah, begitu pula sebaliknya. Di dalam daerah meristematic yang kadar
auxinnya tinggi, ternyata aktivitas IAA oksidasinya rendah. Sedangkan di daerah
perakaran yang kandungan auxinnya rendah, ternyata aktivitas IAA oksidasinya
tinggi. Proses lain yang menyebabkan inaktifnya IAA ialah karena adanya
degradasi oleh photo oksidasi atau aktivitas suatu enzym.
Struktur
molekul dan aktivitas auxin
Menurut Koeffli, Thimann dan went (1966),
aktivitas auxsin ditentukan oleh :
a. adanya
struktur cincin yang tidak jenuh,
b. adanya
rantai keasaman (acid chain)
c.
pemisahan karboksil grup (-COOH) dari struktur cincin.
d. Adanya
pengaturan ruangan antara struktur cincin dengan rantai
keasaman.
IAA
Keempat
persyaratan diatas merupakan faktor yang menentukan terhadap aktivitas auxin.
Tentang sifat dari rantai keasaman, Koeffli (1966) menerangkan bahwa posisi dan
panjang rantai keasaman, berpengaruh terhadap aktivitas auxin. Rantai yang
mempunyai karboksil grup dipisahkan oleh karbon atau karbon dan oksigen akan
memberikan aktivitas yang normal.
Arti
auxin bagi fisiologi tanaman.
Auxin sebagai salah satu hormon tumbuh bagi
tanaman mempunyai peranan terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Dilihat
dari segi fisiologi, hormon tumbuh ini berpengaruh terhadap :
a.
Pengembangan sel
b.
Phototropisme
c.
Geotropisme
d. Apical
dominasi
e.
Pertumbuhan akar (root initiation)
f.
Parthenocarpy
g.
Absission
h.
Pembentukan callus (callus formation) dan
i.
Respirasi
a.
Pengembangan sel
Dari hasil studi tentang pengaruh auxin
terhadap perkembangan sel, menunjukan bahwa terdapat indikasi yaitu auxin dapat
menaikan tekanan osmotik, meningkatkan permeabilitas sel terhadap air,
menyebabkan pengurangan tekanan pada dinding sel, meningkatkan sintesis protein,
meningkatkan plastisitas dan pengembangan dinding sel.
Dalam
hubungannya dengan permeabilitas sel, kehadiran auxin meningkatkan difusi
masuknya air ke dalam sel. Hal ini ditunjang oleh pendapat Cleland dan Brustrom
(1961) bahwa auxin mendukung peningkatan permeabilitas masuknya air ke dalam sel.
b.
Phototropisme
Suatu tanaman apabila disinari suatu cahaya,
maka tanaman tersebut akan membengkok ke arah datangnya sinar. Membengkoknya
tanaman tersebut adalah karena terjadinya pemanjangan sel pada bagian sel yang
tidak tersinari lebih besar dibanding dengan sel yang ada pada bagian tanaman
yang tersinari. Perbedaan rangsangan (respond) tanaman terhadap penyinaran
dinamakan phototropisme.
Terjadinya phototropisme ini disebabkan karena tidak samanya penyebaran auxin di
bagian tanaman yang tidak tersinari dengan bagian tanaman yang tersinari. Pada
bagian tanaman yang tidak tersinari konsentrasi auxinnya lebih tinggi dibanding
dengan bagian tanaman yang tersinari.
c.
Geotropisme
Geotropisme adalah pengaruh gravitasi bumi
terhadap pertumbuhan organ tanaman. Bila organ tanaman yang tumbuh berlawanan
dengan gravitasi bumi, maka keadaan tersebut dinamakan geotropisme negatif.
Contohnya seperti pertumbuhan batang sebagai organ tanaman, tumbuhnya kearah
atas. Sedangkan geotropisme positif adalah organ-organ tanaman yang tumbuh
kearah bawah sesuai dengan gravitasi bumi. Contohnya tumbuhnya akar sebagai
organ tanaman ke arah bawah.
Keadaan
auxi dalam proses geotropisme ini, apabila suatu tanaman (celeoptile) diletakan
secara horizontal, maka akumulasi auxin akan berada di dagian bawah. Hal ini
menunjukan adanya transportasi auxin ke arah bawah sebagai akibat dari pengaruh
geotropisme. Untuk membuktikan pengaruh geotropisme terhadap akumulasi auxin,
telah dibuktikan oleh Dolk pd tahun 1936 (dalam Wareing dan Phillips 1970). Dari
hasil eksperimennya diperoleh petunjuk bahwa auxin yang terkumpul di bagian
bawah memperlihatkan lebih banyak dibanding dengan bagian atas. Sel-sel tanaman
terdiri dari berbagai komponen bahan cair dan bahan padat. Dengan adanya
gravitasi maka letak bahan yang bersifat cair akan berada di atas. Sedangkan
bahan yang bersifat padat berada di bagian bawah. Bahan-bahan yang dipengaruhi
gravitasi dinamakan statolith (misalnya pati) dan sel yang terpengaruh oleh
gravitasi dinamakan statocyste (termasuk statolith).
d. Apical
dominance
Di dalam pola pertumbuhan tanaman, pertumbuhan
ujung batang yang dilengkapi dengan daun muda apabila mengalami hambatan, maka
pertumbuhan tunas akan tumbuh ke arah samping yang dikenal dengan "tunas
lateral" misalnya saja terjadi pemotongan pada ujung batang (pucuk), maka akan
tumbuh tunas pada ketiak daun. Fenomena ini kita namakan "apical dominance".
Hubungan antara auxin dengan apical dominance pada suatu tanaman telah
dibuktikan oleh Skoog dan Thimann (1975). Dalam eksperimennya, pucuk tanaman
kacang (apical bud) dibuang, sebagai akibat treatment tersebut menyebabkan
tumbuhnya tunas di ketiak daun. Dari ujung tanaman yang terpotong itu diletakan
blok agar yang mengandung auxin. Dari perlakuan tersebut ternyata bahwa tidak
terjadi pertumbuhan tunas pada ketiak daun. Hal ini membuktikan bahwa auxin yang
ada di apical bud menghambat tumbuhnya tunas lateral.
e.
perpanjangan akar (root initiation)
dalam hubungannya dengan pertumbuhan akar,
Luckwil (1956) telah melakukan suatu eksperimen dengan menggunakan zat kimia NAA
(Naphthalene acetic acid), IAA (Indole acetid acid) dan IAN
(Indole-3-acetonitrile) yang ditreatment pada kecambah kacang. Dari hasil
eksperimennya diperoleh petunjuk bahwa ketiga jenis auxin ini mendorong
pertumbuhan primordia akar. Perlu dikemukakan pula di sini, bahwa menurut Delvin
(1975), pemberian konsentrasi IAA yang relatif tinggi pada akar, akan
menyebabkan terhambatnya perpanjangan akar tetapi meningkatkan jumlah akar.
f.
Pertumbuhan batang (stem growth)
Di dalam alam, hubungan antara auxin dengan
pertumbuhan batang nyata erat sekali. Apabila ujung coleoptile dipotong,
kemungkinan tanaman tersebut akan terhenti pertumbuhannya.
Di dalam
tanaman, jaringan-jaringan muda terdapat pada apical meristem. Hubungannya
dengan pertumbuhan tanaman peranan auxin sangat erat sekali. Dalam gambar diatas
diperoleh petunjuk bahwa kandungan auxin yang paling tinggi terdapat pada pucuk
yang paling rendah (basal).
g.
Parthenocarpy
Di dalam alam sering kita menjumpai buah yang
tidak berbiji. Seperti ; Anggur, Strawberry dan tanaman famili mentimun. Keadaan
seperti ini disebabkan tidak dialaminya pembuahan pada perkembangan buah. Di
dalam fisiologi, keadaan seperti ini dinamakan Parthenocarpy.
Di dalam
proses Parthenocarpy, hormon auxin bertalian erat. Seperti dikemukakan massart
(1902) hasil eksperimennya menunjukan bahwa pembengkakan dinding ovary bunga
anggrek dapat distimulasi oleh tepung sari yang telah mati. Pada tahun 1934
Yasuda berhasil menemukan penyebab Parthenocarpy dengan menggunakan ekstrak
tepung sari pada bunga mentimun. Hasil analisisnya menunjukan bahwa ekstrak
tersebut mengandung auxin. Selanjutnya pada tahun1936, Gustafon telah menemukan
terjadinya Parthenocarpy dengan menggunakan IAA yang dicampur dengan lanolin
pada stigma. Hasil penelitian Muir (1942) menunjukan pula bahwa kandungan auxin
pada ovary yang mengalami pembuahan (pollination) meningkat bila dibandingkan
dengan ovary yang tidak mengalami pembuahan.
h.
Pertumbuhan buah (fruit growth)
Peningkatan volume
buah ada hubungannya dengan pertumbuhan buah. Keadaan ini akibat hasil
pembelahan sel dan/atau pengembangan sel. Menurut Weaver (1972), fase pembelahan
sel biasanya overlap dengan pengembangan sel (cell enlargementh). Keadaan
perkembangan ini selalu diikuti oleh peningkatan ukuran buah.
Mengenai hubungannya dengan auxin, diterangkan oleh
Muller-Thurgau dalam tahun 1898 bahwa endosperma dan embrio di dalam biji
menghasilkan auxin yang menstimulasi pertumbuhan endosperma. Suatu anggapan
mengenai peranan auxin dalam pertumbuhan buah, telah dibuktikan oleh Crane dalam
tahun 1949 dengan menggunakan 2,4, 5-T sebagai exogenous auxin yang
diaplikasikan pada blak berry, anggur, strawberry dan jeruk. Hasil penelitiannya
menunjukan bahwa pertumbuhan buah lebih cepat 60 hari dari fase normal rata-rata
120 hari.
i.
Abscission
Abscission adalah suatu proses secara alami
terjadinya pemisahan bagian/organ tanaman dari tanaman, seperti ; daun, bunga,
buah atau batang.
Menurut Addicot (1964) maka dalam proses abscission ini
faktor alami seperti ; dingin, panas, kekeringan, akan berpengaruh terhadap
abscission. Dalam hubungannya dengan hormon tumbuh, maka mungkin hormon ini akan
mendukung atau menghambat proses tersebut.
Di dalam proses abscission, akan terjadi perubahan-perubahan
metabolisme dalam dinding sel dan perubahan secara kimia dari pectin dalam midle
lamella.
Pembentukan lapisan abscission (abscission layer),
kadang-kadang diikuti oleh susunan cell division proximal. Disini sel-sel baru
akan berdiferensiasi ke dalam periderm dan membentuk suatu lapisan pelindung
(Weaver, 1972). Mengenai hubungan antara abscission dengan zat tumbuh auxin,
Addicot et al (1955) mengemukakan sbb: Abscission akan terjadi apabila jumlah
auxin yang ada di daerah proksimal (proximal region) sama atau lebih dari jumlah
auxin yang terdapat di daerah distal (distal region). Tetapi apabila jumlah
auxin yang berada di daerah distal lebih besar dari daerah proximal, maka tidak
akan terjadi abscission. Dengan kata lain proses abscission ini akan terlambat.
Teori lain (Biggs dan Leopold 1957, 1958) menerangkan bahwa pengaruh auxin
terhadap abscission ditentukan oleh konsentrasi auxin itu sendiri. Konsentrasi
auxin yang tinggi akan menghambat terjadinya abscission, sedangkan auxin dengan
konsentrasi rendah akan mempercepat terjadinya abscission. Teori terakhir
dikemukakan oleh Robinstein dan Leopold (1964) yang menerangkan bahwa respon
abscission pada daun terhadap auxin dapat dibagi kedalam dua fase jika perlakuan
auxin diberikan setelah daun terlepas. Fase pertama, auxin akan menghambat
abscission, dan fase kedua auxin dengan konsentrasi yang sama akan mendukung
terjadinya abscission.
j.
Senescence
Menurut Alex Comport (1956) dalam Leopold
(1961) "senescence" adalah suatu penurunan kemampuan tumbuh (viability) disertai
dengan kenaikan vulnerability suatu organisme. Namun di dalam tanaman, istilah
ini diartikan; menurunnya fase pertumbuhan (growth rate) dan kemampuan tumbuh
(vigor) serta diikuti dengan kepekaan (susceptibility) terhadap tantangan
lingkungan, penyakit atau perubahan fisik lainnya. Ciri dari fenomena ini selalu
diikuti dengan kematian.
Di dalam
alam, senescence terjadi pada daun, batang dan buah. Menurut Leopold (1961) ada
empat bentuk senescence yang terjadi pada tanaman yaitu :
1. Semua
organ tumbuh mengalami senescence (over-all senescence)
2.
Senescence yang terjadi pada bagian atas (top senescence)
3.
Senescence yang terjadi seluruh bagian daun dan buah (decideus senescence)
4.
Senescence berkembang dari daun paling bawah menuju kearah atas (progresive
senescence)
Ciri-ciri
terjadinya senescence dapat ditemukan pada morfologi dan perubahan di dalam
organ atau seluruh tubuh tanaman. Keadaan seperti ini diikuti oleh meningkatnya
abscission serta daun dan buah berguguran dari batang pokok. Begitu pula
pertumbuhan dan pigmentasi warna hijau berubah menjadi warna kuning, yang
akhirnya buah dan daun terlepas dari batang pokok.
GIBBERELLIN
Gibberellin adalah jenis hormon tumbuh yang
mula-mula diketemukan di Jepang oleh Kurosawa pada tahun 1926. Penelitian
lanjutan dilakukan oleh Yabuta dan Hayashi (1939). Ia dapat mengisolasi
crystalline material yang dapat menstimulasi pertumbuhan pada akar kecambah.
Dalam tahun 1951, Stodola dkk melakukan penelitian terhadap substansi ini dan
menghasilkan "Gibberelline A" dan "Gibberelline X". adapun hasil penelitian
lanjutannya menghasilkan GA1, GA2, dan GA3. Pada saat yang sama dilakukan pula
penelitian di Laboratory of the Imperial Chemical Industries di Inggris sehingga
menghasilkan GA3 (Cross, 1954 dalam Weaver 1972). Nama Gibberellin acid untuk
zat tersebut telah disepakati oleh kelompok peneliti itu sehingga populer sampai
sekarang.
Di dalam alam telah ditemukan lebih dari sepuluh buah jenis gibberellin. Menurut
Mac Millan dan Takashashi (1968), Kang (1970) dan Weaver (1972), gibberellin ada
yang diketemukan dalam jamur Gibberella Fujikuroi, ada yang diketemukan pada
tanaman tinggi dan ada juga yang diketemukan pada keduanya. Jenis gibberellin
yang diketemukan pada jamur yaitu ; GA1, GA2, GA3, GA4, GA7, GA9, s.d GA16,
GA24, GA25, GA36. Sedangkan jenis gibberellin yang diketemukan pada tanaman
derajat tinggi yaitu ; GA1, s.d GA9, GA13, GA17, s.d GA23, GA26, s.d GA35. Dan
yang terakhir yaitu gibberellin yang diketemukan pada jamur dan tanaman derajat
tinggi yaitu ; GA1, s.d GA4, GA7, GA9, dan GA13.
Gibberellin ; GA1 s.d GA5, GA7 s.d GA9, GA19, GA20, GA26, GA27, dan GA29
diketemukan pada Pharbitis nil, GA1, GA5, GA8, GA9, GA13, diketemukan pada umbi
tulip, kemudian GA3, GA4, GA7, diketemukan pada anggur, GA18, GA19, GA20,
diketemukan pada pucuk bambu, GA3, GA4, GA7, dijumpai pada biji apel,
selanjutnya GA21, dan GA22, dijumpai pada sword bean. Pada tanaman lain yaitu :
Lipinus lutens (GA18, GA23, GA28), pada pucuk tanaman jeruk dan biji mentimun
diketemukan GA1, tebu (GA5), pisang (GA7), kacang, jagung, barley wheat
diketemukan GA1. Adapun pada tanaman Phaseolus coclirecus diketemukan ; GA1, GA3
s.d GA6, GA8, GA13, GA17, dan GA20. Kemudian pada Rudbeckia bicolor diketemukan
; GA1, GA4, GA7, s.d GA9. Dan yang terakhir yaitu pada Calonyction aculeatum
diketemukan : GA30, GA31, GA33, dan GA34. Hasil penelitian Meizger dan Zeivaart
(1980) menunjukan bahwa pada pucuk bayam (spinach) didapatkan gibberellin ;
GA53, GA44, GA19, GA17, GA20, dan GA29,.
Metabolisme gibberelline
Gibberellin adalah zat kimia yang dikelompokan
kedalam terpinoid. Semua kelompok terpinoid terbentuk dari unit isoprene yang
terdiri dari 5 atom karbon. Unit-unit isoprene ini dapat bergabung sehingga
menghasilkan monoterpene (C-10), Sesqueterpene (C-15), diterpene (C-20) dan
triterpene (C-30).Biosintesis gibberelline yang terdapat dalam jamur Gibberella
Fujikuroi berproses dari Mevalonic acid sampai menjadi gibberellin. Di dalam
proses biosintesis telah diketemukan zat penghambat (growth retardant) di dalam
aktivitas ini. Beberapa contoh growth retardant yang menghambat biosintesis
gibberelline pada tanaman antara lain Amo-1618 (2-isopropil-4-dimetil-kamine-5
metil phenil-4pipendine karboksilatmetil klorida) menghambat biosintesis
gibberelline pada tanaman mentimun liar (Exhmocytis macrocarpa). Amo-1618
menghambat dalam proses perubahan dari Geranylgeranyl pyrophosphat ke Kaurene.
Begitu pula growth retardant CCC (2-chloroethyl) trimethyl (-amonium chloride)
memperlihatkan aktivitas yang sama dengan Amo-1618.
Struktur
molekul dan aktivitas gibberelline
Gibberelline merupakan suatu compound (senyawa)
yang mengandung "gibban skeleton".
Menurut
Weaver (1972), perbedaan utama pada gibberelline adalah: Pertama, beberapa
gibberelline mempunyai 19 buah atom karbon dan yang lainnya mempunyai 20 buah
atom karbon. Kedua, Grup hidroksil berada dalam posisi 3 dan 13 (ent
gibberellene numbering system). Semua gibberelline dengan 19 atom karbon adalah
monocarboxylic acid yang mengandung COOH grup pada posisi 7 dan mempunyai sebuah
lactonering.
Di dalam alam, dijumpai pula beberapa senyawa yang di ekstrak dari tanaman.
Senyawa tersebut tidak mengandung gibberelline atau gibberellane structure
tetapi termasuk ke dalam gibberelline. Dari hasil penelitian Tamura dkk, ia
menemukan suatu substansi dalam jamur Helminthosporium sativum yang dinamakan "helminthosporol"
yang aktif dalam perpanjangan daun pada kecambah padi dan barley. Senyawa lain
yang ditemukan tanpa gibban skeleton yaitu "Steviol", namun aktivitasnya seperti
gibberelline.
Arti
gibberellin bagi fisiologi tanaman
Gibberellin sebagai hormon tumbuh pada tanaman sangat
berpengaruh pada sifat genetik (genetic dwarfism), pembuangan, penyinaran,
partohenocarpy, mobilisasi karbohidrat selama perkecambahan (germination) dan
aspek fisiologi kainnya. Gibberelline mempunyai peranan dalam mendukung
perpanjangan sel (cell elongation), aktivitas kambium dan mendukung pembentukan
RNA baru serta sintesa protein.
a.
Genetic dwarfism
Genetic dwarfism adalah suatu gejala kerdil
yang disebabkan oleh adanya mutasi. Gejala ini terlihat dari memendeknya
internode. Terhadap Genetic dwarfism ini, gibberelline mampu merubah tanaman
yang kerdil menjadi tinggi. Hal ini telah dibuktikan oleh Brian dan Hemming
(1955). Dalam eksperimennya mereka telah memberi perlakuan penyemprotan
gibberellic acid pada berbagai varietas kacang. Hasil dari eksperimen ini
menunjukan bahwa gibberellic acid berpengaruh terhadap tanaman kacang yang
kerdil dan menjadi tinggi.Mengenai hubungannya dengan cell elengation,
dikemukakan bahwa gibbberelline mendukung pengembangan dinding sel. Menurut van
Oberbeek (1966) penggunaan gibberelline akan mendukung pembentukan enzym
protolictic yang akan membebaskan tryptophan sebagai asal bentuk dari auxin. Hal
ini berarti bahwa kehadiran gibberelline tersebut akan meningkatkan kandungan
auxin. Mekanisme lain menerangkan bahwa gibberelline akan menstimulasi cell
elongation, karena adanya hidrolisa pati yang dihasilkan dari gibberelline, akan
mendukung terbentuknya a amilase. Sebagai akibat dari proses tersebut, maka
konsentrasi gula meningkat yang mengakibatkan tekanan osmotik di dalam sel
menjadi nai, sehingga ada kecenderungan sel tersebut berkembang.
b.
Pembungaan (flowering)
Gibbereline sebagai salah satu hormon tumbuh pada tanaman, mempunyai peranan
dalam pembungaan. Penelitian yang dilakukan Henny (1981) pada bungan
spothiphyllum Mauna loa dengan memberikan perlakuan GA3 dengan dosis: 250, 500
dan 1000 mg/l
c.
Parthenocarpy dan fruit set
Seperti auxin, gibberelline pun berpengaruh
terhadap Parthenocarpy. Hasil penelitian menunjukan bahwa gibberellic acid (GA3)
lebih efektif dalam terjadinya Parthenocarpy dibanding dengan auxin yang
dilakukan pada blueberry. Hasil eksperimen lain menunjukan pula bahwa GA3 dapat
meningkatkan tandan buah (fruit set) dan hasil.
d.
Peranan Gibberellin dalam pematangan buah (fruit ripening)
Pematangan (ripening) adalah suatu proses
fisiologis, yaitu terjadinya perubahan dari kondisi yang tidak menguntungkan ke
suatu kondisi yang menguntungkan, ditandai dengan perubahan tekstur, warna, rasa
dan aroma. Dalam proses pematangan ini, gibberelline mempunyai peran penting
yaitu mampu mengundurkan pematangan (repening) dan pemasakan (maturing) suatu
jenis buah.
Dari hasil penelitian menunjukan aplikasi gibberelline pada buah tomat dapat
memperlambat pematangan buah, sedangkan gibberellic acid yang diterapkan pada
buah pisang matang, ternyata pemasakannya dapat ditunda.
e.
Mobilisasi bahan makanan selama fase perkecambahan (germination)
Biji cerealia terdiri dari embrio dan
endosperm. Didalam endosperm terdapat masa pati (starch) yang dikelilingi oleh
suatu lapisan "aleuron".. sedangkan embrio itu sendiri merupakan suatu bagian
hidup yang suatu saat akan menjadi dewasa. Pertumbuhan embrio selama
perkecambahan bergantung pada persiapan bahan makanan yang berada di dalam
endosperm. Untuk keperluan kelangsungan hidup embrio maka terjadilah penguraian
secara enzimatik yaitu terjadi perubahanpati menjadi gula yang selanjutnya
ditranslokasikan ke embrio sebagai sumber energi untuk pertumbuhannya. Dari
hasil penelitian menunjukan bahwa gibberelline berperan penting dalam proses
aktivitas amilase. Hal ini telah dibuktikan dengan menggunakan GA yang
mengakibatkan aktivitas amilase miningkat. Aktivitas enzyma amilase dan protease
di dalam endosperm juga didukung oleh GA melalui de novo synthesis. Hal ini ada
hubungannya dengan terbentuknya DNA baru yang kemudian menghasilkan RNA.
f.
Stimulasi aktivitas cambium dan perkembangn xylem
Gibberelline mempunyai peranan dalam aktivitas
kambium dan perkembangn xylem. Aplikasi GA3 dengan konsentrasi 100, 250, dan 500
ppm mendukung terjadinya diferensiasi xylem pada pucuk olive. Begitu pula dengan
mengadakan aplikasi GA3 + IAA dengan konsentrasi masing-masing 250 dan 500 ppm,
maka terjadi pengaruh sinergis pada xylem. Sedangkan aplikasi auxin sajaa tidak
memberi pengaruh pada tanaman.
g.
Dormansi
Dormansi adalah masa istirahat bagi suatu
organ tanaman atau biji. Menurut Copeland (1976), dormansi adalah kemampuan biji
untuk mengundurkan fase perkecambahannya hingga saat dan tempat itu
menguntungkan untuk tumbuh.
Secara
umum terjadinya dormansi adalah disebabkan oleh faktor luar dan faktor dalam.
Faktor yang menyebabkan dormansi pada biji adalah sbb:
1. tidak
sempurnanya embrio (rudimentery embriyo)
2. embrio
yang belum matang secara fisikologis (physiological immature embriyo)
3. kulit
biji yang tebal (tahan terhadap gerakan mekanis)
4. kulit
biji impermeable ( impermeable seed coat)
5. adanya
zat penghambat (inhibitor) untuk perkecambahan (presence of germination
inhibitors).
Fase yang terjadi dalam dorminasi biji, menurut Amen (1968) ada empat fase yang
harus dilalui :
1. fase
induksi, ditandai dengan terjadinya penurunan jumlah hormon (hormon level)
2.fase
tertundanya metabolisme (a period of partial metabolic arrest)
3. fase
bertahannya embrio untuk berkecambah karena faktor lingkungan yang tidak
menguntungkan.
4. Perkecambahan (germination), ditandai dengan meningkatnya hormon dan aktivitas
enzym.
Peranan hormon
tumbuh di dalam biji yang mengalami dorminasi telah dibahas oleh warner (1967)
yang mengatakan bahwa GA3 dapat menstimulasi sintesis ribonukleas, amilase dan
protoase di dalam endospem biji barley.
CYTOKININ
Cytokinin
adalah salah satu zat pengatur tumbuh yang ditemukan pada tanaman. Zat pengatur
tumbuh ini mempunyai peranan dalam proses pembelahan sel (cell division). Cytokinin pertama kali ditemukan dalam
kultur jaringan di Laboratories of Skoog and Strong University of Wisconsin.
Material yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah batang tembakau yang
ditumbuhkan pada medium sintesis. Menurut Miller et al (1955, 1956), senyawa
yang aktif adalah kinetin (6-furfuryl amino purine). Hasil penelitian menunjukan
bahwa purine adenin sangat efektif.
Struktur
kimia Cytokinin
Bentuk dasar dari cytokinin adalah adenin
(6-amino purine). Adenin merupakan bentuk dasar yang menentukan terhadap
aktifitas cytokinin. Di dalam senyawa cytokinin, panjang rantai dan hadirnya
suatu double bond dalam rantai tersebut akan meningkatkan aktifitas zat pengatur
tumbuh ini.
Arti
Cytokinin bagi fisiologi tanaman
Penelitian pertumbuhan pith tissue culture
dengan menggunakan cytokinin dan auxin dalam berbagai perbandingan telah
dilakukan oleh Weier et al (1974). Dihasilkan bahwa apabila dalam perbandingan
cytokinin lebih besar dari auxin, maka hal ini akan memperlihatkan stimulasi
pertumbuhan tunas dan daun. Sebaliknya apabila cytokinin lebih rendah dari auxin,
maka ini akan mengakibatkan stimulasi pada pertumbuhan akar. Sedangkan apabila
perbandingan cytokinin dan auxin berimbang, maka pertumbuhan tunas, daun dan
akar akan berimbang pula. Tetapi apabila konsentrasi cytokinin itu sedang dan
konsentrasi auxin rendah, maka keadaan pertumbuhan tobacco pith culture tersebut
akan berbentuk callus. Sedangkan dalam pembelahan sel, dikemukakan bahwa IAA dan
kinetin, apabila digunakan secara tersendiri akan menstimulasi sintesis DNA
dalam tobacco pith culture. Dan menurut ahli tsb, kehadiran IAA dan kinetin ini
diperlukan dalam proses mitosis walaupun IAA lebih dominan pada fase tersebut.
Interaksi
Cytokinin, Gibberellin dan Auxin dalam perkembangan tanaman
Di dalam alam tidak satu unsurpun yang berdiri
sendiri. Kesemuanya berinteraksi antara satu sama lainnya, sehingga merupakan
suatu sistem. Begitu pula dengan zat pengatur tumbuh. Pada tanaman, zat pengatur
tumbuh auxin, gibberellin dan cytokinin bekerja tidak sendiri-sendiri, tetapi
ketiga hormon tersebut bekerja secara berinteraksi yang dicirikan dalam
perkembangan tanaman.
ETHYLENE
Ethylene adalah hormon tumbuh yang secara umum berlainan dengan Auxin,
Gibberellin, dan Cytokinin. Dalam keadaan normal ethylene akan berbentuk gas dan
struktur kimianya sangat sederhana sekali. Di alam ethilene akan berperan
apabila terjadi perubahan secara fisiologis pada suatu tanaman. hormon ini akan
berperan pada proses pematangan buah dalam fase climacteric.
Penelitian terhadap ethylene, pertama kali dilakukan oleh Neljubow (1901) dan
Kriedermann (1975), hasilnya menunjukan gas ethylene dapat membuat perubahan
pada akar tanaman. Hasil penelitian Zimmerman et al (1931) menunjukan bahwa
ethylene dapat mendukung terjadinya abscission pada daun, namun menurut
Rodriquez (1932), zat tersebut dapat mendukung proses pembungaan pada tanaman
nanas. Penelitian lain telah membuktikan tentang adanya kerja sama antara auxin
dan ethylene dalam pembengkakan (swelling) dan perakaran dengan cara
mengaplikasikan auxin pada jaringan setelah ethylene berperan. Hasil penelitian
menunjukan bahwa kehadiran auxin dapat menstimulasi produksi ethylene.
Struktur
kimia dan Biosintesis ethylene
Struktur kimia ethylene sangat sederhana yaitu terdiri dari 2 atom karbon dan 4
atom hidrogen seperti gambar di bawah ini :
Ethylene
Biosintesis ethylene terjadi di dalam jaringan
tanaman yaitu terjadi perubahan dari asam amino methionine atas bantuan cahaya
dan FMN (Flavin Mono Nucleotide) menjadi Methionel. Senyawa tersebut mengalami
perubahan atas bantuan cahaya dan FMN menjadi ethykene, methyl disulphide,
formic acid.
Peranan
ethylene dalam fisiologi tanaman
Di dalam proses
fisiologis, ethylene mempunyai peranan penting. Wereing dan Phillips (1970)
telah mengelompokan pengaruh ethylene dalam fisiologi tanaman sbb:
a.
mendukung respirasi climacteric dan pematangan buah
b.
mendukung epinasti
c.
menghambat perpanjangan batang (elengation growth) dan akar pada beberapa
species tanaman walaupun ethylene ini dapat menstimulasi perpanjangan batang,
coleoptyle dan mesocotyle pada tanaman tertentu, misalnya Colletriche dan padi.
d.
Menstimulasi perkecambahan
e. Menstimulasi pertumbuhan secara isodiametrical lebih besar dibandingkan dengan
pertumbuhan secara longitudinal
f.
Mendukung terbentuknya bulu-bulu akar
g.
Mendukung terjadinya abscission pada daun
h.
Mendukung proses pembungaan pada nanas
i.
Mendukung adanya flower fading dalam persarian anggrek
j.
Menghambat transportasi auxin secara basipetal dan lateral
Mekanisme timbal balik secara teratur dengan adanya auxin
yaitu konsentrasi auxin yang tinggi menyebabkan terbentuknya ethylene. Tetapi
kehadiran ethylene menyebabkan rendahnya konsentrasi auxin di dalam jaringan.
Hubungannya dengan konsentrasi auxin, hormon tumbuh ini menentukan pembentukan
protein yang diperlukan dalam aktifitas pertumbuhan, sedangkan rendahnya
konsentrasi auxin, akan mendukung protein yang akan mengkatalisasi sintesis
ethylene dan precursor.
Peranan
ethylene dalam proses pematangan buah
Harsen (1967) dalam Dilley
(1969) telah mempelajari hubungan antara ethylene dengan tingkat kematangan pada
buah pear. Ia mengemukakan bahwa pematangan ini menjadi suatu sequential dalam
proses kesinambungan kehidupan buah. Menurut konsep tsb, ethylene berpebgaruh
terhadap beberapa yang mengontrol pola normal dari proses pematangan.
Menurut Frenkel et al
(1968), sintesa protein diperlukan pada tingkat pematangan yang normal. Protein
disintesa secepatnya dalam proses pematangan. Dari hasil eksperimen terhadap
buah pear, memperlihatkan bahwa pematangan buah dan sintesa protein terhambat
sebagai akibat perlakuan cycloheximide pada permulaan fase climacteric. Setelah
cycloheximide hilang, ternyata sintesis ethylene tidak mengalami hambatan.
Di dalam proses pematangan,
ribonucleic acid synthesis pun diperlukan. Dalam eksperimen menggunakan buah
pear, buah tersebut ditreated, dengan actinomysin D pada tingkat pre
climacteric. Dari hasil eksperimen ini diperoleh petunjuk bahwa actinomysin D
menghambat terbentuknya DNA yang bergantung pada RNA sintesis.
Imascshi et al (1968)
mengemukakan bahwa ethylele mendukung peningkatan aktivitas metabolisme dalam
jaringan akar ubi jalar. Ethylene yang berkonsentrasi 0,1 ppm, menstimulasi
perkembangan peroxidase dan phenyl alanine ammonialyase. Penelitian lain
mengemukakan bahwa perlakuan ethylene pada kecambah kapas menstimulasi aktivitas
peroksida dan IAA oksida.
Interaksi
ethylene dengan auxin dan kinetin
Dari hasil penelitian
terhadap tanaman kacang (pea), menunjukan bahwa pembentukan ethylene lebih
tampak pada jaringan meristem tempat auxin dihasilkan. Disini IAA mengontrol
pembentukan ethylene dalam perpanjangan batang pea. Kehadiran kinetin dalam
pertumbuhan tunas lateral dapat mengatasi penghambatan yang diakibatkan oleh
IAA. Hasil penelitian lain menunjukan bahwa adanya penghambatan transportasi
auxin oleh endogenous ethylene yang menyebabkan terjadinya abscission pada daun.
INHIBITORS
Pengertian inhibitor adalah zat yang
menghambat pertumbuhan pada tanaman, sering didapat pada proses perkecambahan,
pertumbuhan pucuk atau dalam dormansi. Di dalam tanaman, inhibitor menyebar di
setiap organ tubuh tanaman tergantung dari jenis inhibitor itu sendiri. Menurut
weaver (1972), beberapa jenis inhibitor adalah merupakan bentuk phenyl compound
termasuk phenol, benzoic acid, cinamic acid dan coffeic acid. Gallic acid dan
shikimic acid merupakan turunan dari benzoic acid. Selanjutnya ia mengemukakan
pula bahwa gallic acid dapat diketemukan pada buah yang matang, sedangkan
ferulic acid dan p-coumaric acid merupakan ko faktor untuk IAA oksida.
Di
dalam alam, abscisic acid dapat dijumpai pada daun, batang, rizoma, ubi (tuber),
tunas (bud), tepung sari, buah, embrio, endosperm, ataupun kulit biji (seed
coat) misalnya pada tanaman kentang, kacang, apel, adpokat rose dan kelapa.
Plant growth retardant adalah inhibitor yang berperan dalam menghambat aktivitas
apical meristematic. Zat kimia yang dikelompokan dalam growth retardant adalah :
Amo-1618, Phosfon-D, CCC (cycocel), SADH (succinic acid-2,2-dimethyl hyrdazide)
dan Morphactins (methyl-2-chloro-9-hydroxy fluorene-9-carboxylate/IT 3456 dan
n-butyl-9-hydroxyfluerene-9-carboxylate/IT 3233).
Peranan inhibitor di dalam tanaman
a.
Abscissic acid
Di dalam tanaman,
Abscissic acid (ABA) menyebar di dalam jaringan. Inhibitor ini mempunyai fungsi
atau peranan yang berlawanan dengan zat pengatur tumbuh: auxin, gibberellin, dan
cytokinin.
b. Plant
growth retardant
Plant growth retardant adalah inhibitor yang
berlawanan dengan kegiatan gibbberellin pada perpanjangan batang. Hal ini
terbukti dari hasil penelitian Lang dkk dengan menggunakan CCC dan Amo-1618 pada
jamur fusarium moniliforme dan tanaman derajat tinggi. Ternyata bahwa sintesis
gibberellin diblokir sehingga gibberellin tersebut tidak berpengaruh. Sedangkan
SADH menghambat diamin oksida (yang berperan dalam perubahan tryptamine menjadi
IAA).
Secara garis besar
ternyata inhibitor ini menghambat aktivitas auxin, gibberellin dan cytokinin.
ABA sebagai salah satu jenis inhibitor mendukung dormansi, abscission dan
senscence. Sedangkan SADH, CCC, Phosfon-D dan Amo-1618 menghambat perpanjangan
batang (cell elongation). Growth retardant ini aktifasinya berlawanan dengan
gibberellin. MH (Maleic Hydrazide) sering digunakan sebagai herbisida dalam
konsentrasi yang tinggi. Aktifitas MH ini menghambat aktifitas meristematic,
sehingga menghambat perpanjangan batang. Begitu pula morphactin dan turunannya,
dengan menggunakan konsentrasi yang tinggi, dapat dipergunakan sebagai weed
killer. Peranan bahan kimia ini adalah menghambat perpanjangan batang dan
berfungsi pula untuk memecahkan auxillary bud.
0 komentar:
Posting Komentar